Lembaran Negara Republik Indonesia 1951, Nr. 9 UNDANG-UNDANG DARURAT No. 1 TAHUN 1951
PENGADILAN-PENGADILAN SIPIL. SUSUNAN. KEKUASAAN. ACARA. TINDAKAN-TINDAKAN SEMENTARA. Undang-undang Darurat Nr. 1. Tahun 1951, tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan Sipil (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran-Negara Nr. 31).
UNDANG-UNDANG DARURAT No. 1 TAHUN 1951
TENTANG TINDAKAN-TINDAKAN SEMENTARA UNTUK
MENYELENGGARAKAN KESATUAN SUSUNAN, KEKUASAAN DAN ACARA PENGADILAN-PENGADILAN SIPIL.
Presiden Republik Indonesia,
Memutuskan:
A. Mencabut peraturan-peraturan atau pasal-pasal peraturan-peraturan yang bertentangan dengan Undang-undang ini B. Menetapkan:
Pasal 1.
(1) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, dihapuskan :
a. Mahkamah Justisi di Makasar dan alat Penuntutan Umum padanya; b. Appelraad di Makasar; c. Appelraad di Medan;
d. segala Pengadilan Negara dan segala Landgerecht (cara baru) dan alat Penuntutan Umum padanya; e. segala Pengadilan Kepolisian dan alat Penuntutan Umum padanya;
f. segala Pengadilan Magistraat (Pengadilan Rendah); g. segala Pengadilan Kabupaten; h. segala Raad Distrik; i. segala Pengadilan Distrik; j. segala Pengadilan Negorij.
(2) Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan :
a. segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) dalam Negara Sumatera Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali
peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja; b. segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied). kecuali
peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat.
(3) Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak-kekuasaan yang
sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie.
(4) Pelanjutan peradilan Agama tersebut di atas dalam ayat (2) bab a dan b. akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 2.
Pada saat peraturan ini mulai berlaku :
a. tempat kedudukan Pengadilan Tinggi di Yogyakarta dipindahkan ke Surabaya; b. tempat kedudukan Pengadilan Tinggi di Bukit-Tinggi dipindahkan ke Medan;
c. diadakan satu Pengadilan Tinggi di Makasar; d. diadakan satu Pengadilan Negeri dan satu Kejaksaan padanya, ditiap-tiap tempat di mana
berdasar atas ketentuan pasal 1 ayat (1) bab d dihapuskan satu Pengadilan Negara atau Landgerecht (cara baru) beserta alat Penuntutan Umum padanya.
Pasal 3.
(1) Susunan, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Tinggi di Makasar dilakukan dengan
mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan-pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.
(2) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Tinggi di Jakarta
dilakukan dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan-pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.
Pasal 4.
(1) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, daerah hukum Pengadilan-pengadilan Tinggi ditetapkan seperti berikut :
a. daerah hukum Pengadilan Tinggi di Jakarta meliputi daerah-daerah hukum segala Pengadilan Negeri dalam daerah Propinsi Jawa Barat dan daerah-daerah hukum segala
Pengadilan Negeri dalam daerah-daerah Propinsi Sumatera Selatan dan bekas karesidenan Kalimantan Barat; b. daerah hukum Pengadilan Tinggi di Surabaya meliputi daerah-daerah hukum segala
Pengadilan Negeri dalam daerah Propinsi Jawa Tengah dan dalam Propinsi Jawa-Timur; c. daerah hukum Pengadilan Tinggi di Medan meliputi daerah-daerah hukum segala
Pengadilan Negeri dalam Propinsi-propinsi Sumatera kecuali dalam Propinsi Sumatera Selatan; d. daerah hukum Pengadilan Tinggi di Makasar meliputi daerah-daerah hukum segala
Pengadilan Negeri yang lain dalam daerah Republik Indonesia.
(2) Kepada Menteri Kehakiman diberi kuasa untuk mengubah, dengan persetujuan Mahkamah Agung, peraturan dalam ayat (1).
Pasal 5.
(1) Susunan, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Negeri dan Kejaksaan yang dimaksudkan
dalam pasal 2 bab d tersebut dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk
Pengadilan Negeri dan Kejaksaan dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu, dengan ketentuan, bahwa segala Pegawai pada Pengadilan-pengadilan dan pada alat-alat Penuntutan Umum
padanya yang dihapuskan menurut ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) bab d tersebut, dianggap pada saat peraturan ini diundangkan telah diangkat dalam jabatan yang sama pada Pengadilan
Negeri dan Kejaksaan yang diadakan baru itu, dan dengan ketentuan pula, bahwa daerah hukum Pengadilan Negeri yang diadakan baru itu, adalah sama dengan daerah hukum
pengadilan-pengadilan yang dihapuskan itu, selama tiada penetapan lain dari Menteri Kehakiman.
(2) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Negeri di
Jakarta dan Kejaksaan padanya dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk
Pengadilan Negeri dan Kejaksaan dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.
(3) a. Pengadilan Negeri yang daerah-hukumnya meliputi daerah-daerah hukum
Pengadilan-pengadilan yang dihapuskan berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) bab e, f, g, h, i dan j, dan dalam pasal 1 ayat (2) bab a dan b, sebagai pengadilan sehari-hari biasa untuk
segala penduduk Republik Indonesia memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan/atau segala perkara pidana sipil yang dahulu diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan-pengadilan yang dihapuskan itu.
(3) b. Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang
sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan
hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan
penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya
dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa
hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
(3) c. Jika yang terhukum tak memenuhi putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Agama dalam
lingkungan peradilan Swapraja dan Adat, salinan putusan itu harus disampaikan oleh yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah-hukumnya meliputi daerah-hukum Hakim Agama itu untuk dapat dijalankan.
Ketua itu, sesudahnya telah nyata kepadanya bahwa putusan itu tak dapat diubah lagi, menyatakan bahwa putusan dapat dijalankan, dengan menaruh perkataan : "Atas nama Keadilan"
di atas putusan itu dan dengan menerangkan dibawahnya, bahwa putusan dinyatakan dapat dijalankan, keterangan mana harus ditanggalkannya dan dibubuhi tanda-tangannya.
Setelah itu putusan dapat dijalankan menurut acara yang berlaku untuk menjalankan putusan perdata Pengadilan Negeri.
Pasal 6.
(1) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, oleh segala Pengadilan Negeri, oleh segala Kejaksaan
padanya dan oleh segala Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia, "Reglemen Indonesia yang dibaharui" (Staatsblad 1941 No. 44) seberapa mungkin harus diambil sebagai
pedoman tentang acara perkara pidana sipil, dengan perubahan dan tambahan yang berikut :
a. perkara-perkara pidana sipil yang diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, atau yang menurut ketentuan dalam pasal 5
ayat (3) bab b dianggap diancam dengan hukuman pengganti yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah begitu juga kejahatan "penghinaan ringan"
yang dimaksudkan dalam pasal 315 "Kitab Undang-undang Hukum Pidana". diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam sidang dengan tidak dihadiri oleh Jaksa, kecuali bilamana
jaksa itu sebelumnya telah menyatakan keinginannya untuk menjalankan pekerjaannya pada sidang itu; b. dalam hal memeriksa dan memutus perkara-perkara yang dimaksudkan dalam bab a
tadi, berlaku ketentuan dalam pasal-pasal 46 sampai terhitung 52 dari "Reglemen untuk Landgerecht‘‘ (Staatsblad 1914 No. 317), sedang perkara-perkara itu dapat diperiksa dan
diadili walaupun terdakwanya tidak hadir asal saja terdakwa itu telah dipanggil untuk menghadap dengan sah; c. terhadap putusan yang dijatuhkan dengan tak berhadirnya terhukum itu siterhukum dapat
memajukan perlawanan; d. sebagai acara memeriksa dan memutus dengan tak berhadirnya terhukum itu dan memajukan perlawanan itu, diturut ketentuan dalam pasal 6 "Reglemen untuk Landgerecht"
(Staatsblad 1914 No. 317) yuncto 1917 No. 323 dengan pengertian bahwa perlawanan itu harus diajukan kepada Jaksa; e. putusan-putusan dalam perkara-perkara yang dimaksudkan dalam bab a tadi juga jika
perkara-perkara itu tak dimajukan secara singkat (sumir), tak usah dibuat tersendiri akan tetapi boleh dimasukkan dalam catatan pemeriksaan sidang.
(2) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, terhadap putusan Pengadilan Negeri tentang perkara
pidana selainnya dari pada yang dimaksudkan dalam ayat 1 bab a tadi, oleh terdakwa untuk dirinya sendiri atau oleh jaksa yang bersangkutan untuk satu atau beberapa terdakwa dapat
dimohon bandingan oleh Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri itu, jika putusan itu tidak mengandung pembebasan dari tuntutan seluruhnya.
Bandingan itu tidak mengubah putusan yang telah dijatuhkan kepada terdakwa lain.
(3) Kecuali jika terdakwa dibebaskan, maka sesudah putusan yang dimaksudkan dalam ayat 2
tadi diucapkan, hakim mengingatkan terdakwa akan haknya untuk mohon bandingan dalam tenggang yang ditetapkan, atau untuk menerima baik putusan Pengadilan, atau sesudah dimohon
bandingan untuk menarik kembali permohonan itu, atau untuk minta supaya menjalankannya putusan dipertangguhkan 14 hari lamanya, dalam tempo mana ia akan memasukkan permohonan grasi.
(4) Peringatan ini dijalankan oleh Panitera jika putusan diberitahukannya kepada terdakwa dalam penjara.
(5) Perbuatan yang dilakukan menurut ayat 3 tadi harus dicatat dalam surat catatan pemeriksaan sidang.
(6) Perbuatan yang dilakukan menurut ayat 4 tadi harus dicatat di bawah surat putusan.
Pasal 7.
(1) Permohonan untuk bandingan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh
pemohon atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permohonan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan, dalam tujuh hari, terhitung mulai hari
berikut sesudah hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.
(2) Permohonan itu oleh Panitera tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditanda
tangani oleh Panitera tersebut dan jika dapat juga oleh pemohon atau wakilnya, surat keterangan mana harus disertakan dengan surat-surat pemeriksaan perkara, dan juga dicatat dalam daftar.
Pasal 8.
Jika Jaksa yang memohon bandingan, maka hal ini harus selekas-lekasnya diberitahukan kepada terdakwa.
Pasal 9.
Selama surat-surat pemeriksaan perkara belum dikirim ke Pengadilan Tinggi, permohonan bandingan dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan jika dicabut permohonan sedemikian, maka tidak dapat diajukan lagi.
Pasal 10.
(1) Selambat-lambanya lima minggu, terhitung mulai hari berikut sesudah hari pengumuman
putusan Pengadilan Negeri kepada yang bersangkutan, Panitera harus mengirimkan kepada Pengadilan Tinggi turunan dan surat-surat pemeriksaan serta surat-surat bukti.
(2) Dalam tujuh hari sebelum pengiriman surat-surat kepada Pengadilan Tinggi dan dalam empat
belas hari sesudah diterimanya surat-surat oleh Pengadilan Tinggi harus diberi kesempatan kepada terdakwa atau wakilnya dan kepada Jaksa untuk membaca surat-surat tersebut.
(3) Mulainya berlaku tenggang ini harus diberitahukan kepada terdakwa dan Jaksa oleh Panitera Pengadilan Negeri dan Panitera Pengadilan Tinggi.
Pasal 11.
Pemeriksaan dalam tingkat bandingan dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dengan Tiga Hakim, jika dipandang perlu dengan mendengar sendiri terdakwa atau saksi.
Pasal 12.
Dalam perkara kejahatan yang terdakwanya menurut Undang-undang dapat ditahan sementara, sejak permohonan bandingan diajukan Pengadilan tinggilah yang menentukan ditahan atau tidaknya.
Pasal 13.
Selama Pengadilan Tinggi belum memutuskan dalam tingkat bandingan terdakwa atau wakilnya dan Jaksa dapat menyerahkan surat-surat pembelaan atau keterangan kepada Pengadilan Tinggi.
Pasal 14.
(1) Dalam tingkat bandingan Pengadilan Tinggi dapat mengubah surat tuntutan secara yang boleh
dilakukan oleh Jaksa Kejaksaan Negeri dalam pemeriksaan tingkat pertama.
(2) Atas pengubahan surat tuntutan ini terdakwa harus didengar oleh Pengadilan Tinggi sendiri atau oleh Pengadilan Negeri atas perintahnya.
Pasal 15.
(1) Jika menurut pendapat Pengadilan Tinggi ada kesalahan atau kealpaan atau yang kurang
lengkap atau kurang sempurna dalam pemeriksaan tingkat pertama, hal-hal ini harus diperbaiki.
(2) Dalam hal ini Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan perbaikan ini oleh Pengadilan Negeri
yang memutuskan dalam pemeriksaan tingkat pertama atau oleh salah satu Hakim dan Pengadilan Tinggi.
(3) Jika perlu, Pengadilan Tinggi dapat membatalkan perbuatan Hakim dalam tingkat pertama yang mendahului putusan penghabisan Pengadilan Negeri.
(4) Apabila hal ini terjadi, Pengadilan Negeri tersebut harus mengulangi pemeriksaan dalam tingkat pertama mulai dengan perbuatan yang dibatalkan tadi.
Pasal 16.
(1) Setelah semua hal tersebut di atas dipertimbangkan dan dijalankan, Pengadilan Tinggi
menjatuhkan putusan, yaitu membenarkan atau mengubah putusan Pengadilan Negeri atau membatalkannya dan mengadakan putusan sendiri.
(2) Jika pembatalan ini terjadi atas putusan Hakim Pengadilan Negeri, karena ia tidak berhak
memeriksa perkaranya, maka perkaranya harus dikembalikan kepada Hakim Pengadilan Negeri tersebut yang wajib memeriksanya.
Pasal 17.
(1) Jika terdakwa dalam tingkat bandingan dihukum oleh karena kejahatan yang terdakwanya
menurut Undang-undang dapat ditahan sementara, Pengadilan Tinggi menentukan penahanan berjalan terus atau penghentiannya penahanan.
(2) Jika keadaan berlainan dari pada yang tersebut dalam ayat 1, Pengadilan Tinggi, tidak boleh
memerintahkan penahanan dan jika terdakwa tertahan, perintah penahanan harus dicabut.
Pasal 18.
Putusan Pengadilan Tinggi dalam tingkat bandingan ini harus ditanda tangani oleh semua Hakim yang turut memutuskan dan oleh Panitera yang turut membantu meriksa, kecuali jika mereka berhalangan, hal mana harus dicatat dalam surat putusan.
Pasal 19.
(1) Turunan putusan ini beserta dengan surat-surat pemeriksaan harus selekas-lekasnya dikirim
kepada Pengadilan Negeri yang memutuskan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
(2) Isi putusan harus diberitahukan kepada terdakwa oleh Panitera Pengadilan Negeri itu selekas
mungkin, pemberitahukan mana harus dicatat dalam putusan Pengadilan Negeri.
Pasal 20.
(1) Dengan mengingat peraturan pemerintah tentang permohonan grasi demikian juga peraturan
tentang pengembalian barang-barang bukti segera sesudah habis sidang dan jika tiada peraturan lain dari pada ayat-ayat yang tersebut di bawah ini, maka putusan Pengadilan Tinggi dalam tingkat
bandingan ini harus selekas-lekasnya dijalankan oleh Jaksa dari Kejaksaan pada Pengadilan yang mengadili perkara dalam tingkatan pertama.
(2) Untuk dapat menjalankan putusan itu, Panitera Pengadilan Negeri yang tersebut dalam pasal
19 ayat 2, sesudah diberitahukannya putusan itu kepada terdakwa menurut aturan dalam pasal 19 itu, mengirimkan kepada Jaksa yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini untuk tiap-tiap terdakwa
petikan dari putusan itu berangkap dua, dalam petikan mana disebut: nama, umur, tempat lahir, pekerjaan, tempat tinggal atau tempat kediaman terdakwa, putusan dari
Pengadilan dalam peradilan tingkat pertama dan putusan dalam tingkat bandingan, hari putusan itu dijatuhkan, demikian pula nama Hakim yang turut memberi keputusan, dan lagi perintah tentang
penahanan terdakwa, dengan catatan bahwa putusan itu sudah mendapat kekuatan tetap kecuali dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan.
(3) Putusan Pengadilan Tinggi itu dijalankan oleh Jaksa yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini secara
peraturan menjalankan putusan perkara pidana dalam peradilan tingkatan pertama.
ATURAN PERALIHAN
Ketentuan terakhir.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Tambahan Lembaran Negara 1951, No. 81
PENGADILAN-PENGADILAN SIPIL. SUSUNAN. KEKUASAAN ACARA. TINDAKAN-TINDAKAN SEMENTARA. Penjelasan Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan Sipil.
UMUM
Pemerintah prefederal telah menyusun susunan pengadilan-pengadilan yang dahulu dinamakan "Governements-rechtspraak" secara regional, dengan Hooggerechtshof sebagai pengadilan tertinggi untuk seluruh Indonesia.
Untuk beberapa daerah-daerah Indonesia oleh Pemerintah prefederal itu telah diadakan
peraturan-peraturan tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan regional itu, misalnya pengadilan dalam pemeriksaan tingkat pertama di sini dinamakan Landgerecht, di situ
Pengadilan Negara, di sana Pengadilan Negeri, dan dalam tingkat bandingan di sini dinamakan Appelraad, di situ Mahkamah Justisi (Hof van Justitie). di sana Pengadilan Tinggi.
Dari putusan perkara pidana sipil yang dijatuhkan dalam pemeriksaan tingkat pertama, di sini tak dapat dimintai pemeriksaan ulangan, di sana hanya dapat diminta jika hukuman yang dijatuhkan itu melebihi
satu tahun penjara, di situ dapatlah diminta dalam perkara yang diancam hukuman lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, asal putusan dalam tingkat pertama tidak memuat pembebasan dari tuntutan seluruhnya. Pada saat pemulihan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat keadaan dalam lingkungan pengadilan yang dahulu dinamakan "Gouvernements-rechtspraak" telah menjadi begitu ruwet, hingga
hanya beberapa penduduk Indonesia saja mengetahui bagaimanakah susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan regional tersebut.
Berdasar atas pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, peraturan-peraturan tersendiri tersebut tetap berlaku sebagai peraturan-peraturan R.I.S. sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan itu
tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang atas kuasa Konstitusi itu. Maka karena daerah-daerah-bagian R.I.S. berhak, berdasar atas pasal 155 Konstitusi, mengatur
kekuasaan pengadilan-pengadilan yang diakui dengan atau atas kuasa Undang-undang daerah-daerah-bagian itu, tidak mungkinlah bagi Pemerintah R.I.S. untuk mencapai kesatuan susunan,
kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan regional itu. Hanya susunan, kekuasaan dan acara Mahkamah Agung, yang bentuknya berdasar atas pasal 113
Konstitusi, telah dapat diatur oleh Pemerintah R.I.S. dengan Undang-undang No. 1 tahun 1950 (Lembaran Negara No 30 Tahun 1950). Sebuah rancangan Undang-undang untuk mengganti Undang-undang tersebut berhubung dengan
pembentukan Negara Kesatuan, oleh Pemerintah Republik Indonesia telah disampaikan kepada Dewan Menteri. Pada saat Negara Kesatuan telah didirikan, maka kekuasaan daerah-daerah-bagian R.I.S. tidak
seketika itu juga berhenti. Baharu sekaranglah kekuasaan daerah-daerah-bagian R.I.S. beradalah, baik de jure maupun de facto,
dalam tangan Pemerintah Republik Indonesia, yang dengan tidak menunggu lagi telah menyampaikan sebuah rancangan Undang-undang tentang susunan, kekuasaan dan cara Pengadilan-pengadilan Negeri
dan Pengadilan-pengadilan Tinggi kepada Dewan Menteri. Rancangan Undang-undang itu mengandung azas unifikasi susunan, kekuasaan dan acara segala
Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia. Rancangan Undang-undang itu berazas pula, bahwa, - kecuali jika dalam Undang-undang ditetapkan
suatu pengadilan lain untuk memeriksa dan memutus (misalnya : perkara-perkara yang dimaksudkan dalam pasal-pasal 106 dan 108 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia atau
perkara-perkara pidana militer) -, hanya Pengadilan Negeri belaka berkuasa memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan segala perkara pidana sipil.
Maka Pengadilan Negeri, menurut rancangan Undang-undang itu, adalah Hakim sehari-hari biasa untuk segala penduduk Republik Indonesia.
Pendirian rancangan Undang-undang itu berakar dalam azas-hukum yang tersebut di bawah ini. Dalam "suatu negara-hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan", - dalam hal ini Negara Republik
Indonesia (pasal 1 Undang-undang Dasar Sementara) -, Rakyat yang memegang Kedaulatan harus percaya, bahwa dalam Negaranya terdapatlah suatu alat negara-hukum itu yang tak berpihak (artinya
yang tidak tunduk begitu saja pada alat perlengkapan negara yang lain) dan yang memenuhi :
"semata-mata pada syarat kepandaian, kecakapan dan kelakuan tak-bercela yang ditetapkan dengan Undang-undang (pasal 101 ayat 2 Undang-undang Dasar), dan "bertentangan dengan kemauannya tiada
seorang juapun dapat dipisahkan" dan padanya (pasal 13 ayat 2 Undang-undang Dasar), untuk memberi "bantuan-hukum yang sungguh" kepada "sekalian orang yang ada di daerah Negara" yang "sama berhak
menuntut perlindungan untuk diri dan harta-bendanya", "menuntut perlakuan dan perlindungan yang sama oleh Undang-undang", "menuntut perlindungan yang sama terhadap tiap-tiap pembelakangan dan
terhadap tiap-tiap penghasutan untuk melakukan pembelakangan demikian", "melawan perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan hak-hak dasar yang diperkenankan kepadanya menurut
hukum", "dalam persamaan yang sepenuhnya mendapat perlakuan jujur dalam perkaranya, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan
hukuman yang dimajukan terhadapnya beralasan atau tidak", dianggap tak bersalah jika dituntut karena disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana "sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu sidang
pengadilan, menurut aturan-aturan hukum yang berlaku, dan ia dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pembelaan" dengan mengindahkan, bahwa "tiada seorang
juapun (yang) boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya, dan "apabila ada perubahan dalam aturan hukum seperti
tersebut dalam ayat di atas, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik bagi si tersangka" (pasal-pasal 7, 8, 13 dan 24 Undang-undang Dasar).
Tugas yang oleh azas-azas-hukum tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia dibebankan kepada seorang Hakim, adalah amat berat.
Tugas itu menuntut pelajaran ,ilmu hukum yang sempurna dan yang tiada berkeputusan, dan melainkan kepandaian dan kecakapan istimewa itu, peri-peri perangai dan peri-peri budi yang agak berlainan dan
pada yang harus dipenuhi oleh seorang pegawai Pamong-praja, seorang pegawai Tata-Usaha atau seorang pegawai Polisi.
Pendek kata, tugas Hakim itu menuntut tenaganya sepenuh-penuhnya dan suatu obyektipitet, kedua hal mana tak dapat dipenuhi olehnya, jika ia selain menjadi suatu badan yang khusus memberi keadilan
kepada Rakyat merangkap pula menjadi suatu bagian alat perlengkapan negara yang lain. Maka dari itu pasal 103 Undang-undang Dasar Republik Indonesia memperlindungkan Rakyat akan
melawan urusan pengadilan oleh alat-alat perlengkapan Negara yang bukan perlengkapan pengadilan. Kekuasaan Hakim itu adalah amat besar, sebab Hakim dapat menjatuhkan putusan dengan memakai kekerasan.
Jika kekuasaan itu diberikan kepada suatu alat perlengkapan Negara yang tidak bebas dan, karena itulah tidak obyektip pula, maka kekuasaan itu akan dipergunakannya untuk meneguhkan kedudukannya atau
oleh penyelenggara alat perlengkapan itu akan salah dipakainya, ialah untuk mencapai suatu maksud yang lain dari pada memelihara keadilan. Riwayat dari banyak Negara telah membuktikan hal sedemikian itu.
Keadilan, yaitu "tenax propositum et constans haec perpetuaque voluntas cuique quod tempori populoque convenientes leges et in viridi positae observatae definiverunt singulis tribuendum esse", (1:
asal dari perkataan-perkataan yang disebutkan itu, diterangkan, dalam majalah hukum untuk Negara Belgia bernama "Rechtskundig Weekblad", perjalanan tahun ke 13 No. 40 (karangan Mr. J.L.
Apeldoorn tentang "Wet en Gerechtigheid")
Keadilan, yaitu "leichmaszig - unvoreigenommene Anwendung des positiven d.h. des in der Gemeinschaft praktisch und faktisch gultigen Recht", (2: asal dari perkataan-perkataan yang disebutkan itu,
diterangkan, dalam majalah hukum untuk Negara Belgia bernama "Rechtskundig Weekblad", perjalanan tahun ke 13 No. 40 (karangan Mr. J.L. Apeldoorn tentang "Wet en Gerechtigheid")
Keadilan, "always the same in the case of men and things you do not like as in the case of these you do like", always the same whether it be due from one man to a million, or from a million to one man", (3: asal
dari perkataan-perkataan yang disebutkan itu, diterangkan, dalam majalah hukum untuk Negara Belgia bernama "Rechtskundig Weekblad", perjalanan tahun ke 13 No. 40 (karangan Mr. J.L. Apeldoorn
tentang "Wet en Gerechtigheid")
Keadilan, yang dianggap luhur itu dalam daerah Republik Indonesia, pemeliharaannya tak boleh lebih lama lagi dipasrahkan kepada pengadilan-pengadilan yang terdiri dari pada Hakim yang tidak
mempunyai kebebasan dan - pada umumnya - tak memenuhi syarat-syarat, kepandaian dan kecakapan yang menurut Undang-undang Dasar harus dipenuhi oleh seorang Hakim.
Berhubung dengan apa yang diuraikan di atas ini, telah nyata kiranya, bahwa dalam seluruh daerah Indonesia segala pengadilan-pengadilan sipil dari Negara yang memeriksa dan memutus perkara-perkara
perdata dan (atau) pidana, jika pengadilan-pengadilan itu khusus terdiri dari para Hakim yang bukan
Hakim karena jabatannya (beroepsrechters), lagi pula segala kekuasaan Hakim-hakim desa, harus dihapuskan. Oleh karena rancangan "Undang-undang tentang susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan
Negeri dan Pengadilan-pengadilan Tinggi" tersebut harus dipelajari dan dibicarakan oleh Dewan Menteri dahulu, dan baharu sesudahnya itu akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan amanat
Presiden Republik Indonesia, sehingga kiranya beberapa bulan akan lalu sebelum rancangan itu telah menjadi Undang-undang, maka terpaksalah - karena keadaan-keadaan yang mendesak dengan
Undang-undang Darurat ini diambil tindakan-tindakan yang amat perlu. Maka oleh Undang-undang Darurat ini ditiadakan :
a. segala pengadilan Distrik, b. segala pengadilan Kabupaten, c. segala pengadilan Negorij, d. segala Raad Distrik dan
e. segala pengadilan Magistraat - yang di beberapa daerah-daerah Indonesia pada waktu ini dinamakan pengadilan Rendah.
(Periksalah pasal-pasal 1, 77 dan 81 R.O., 1, 3, 10, 18 dan 26 Reglemen Hukum Acara Seberang, 1 juncto 12 Reglemen Kalimantan Timur Besar, 2 Reglemen Pengadilan Indonesia Timur, 2 Voorlopig
Rechtsreglement, 2 Voorlopige Regeling Rechtswezen, 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1950 dan Undang-undang No. 8 Tahun 1950 tersebut, juncto pasal 142
Undang-undang Dasar Sementara). Pengadilan-pengadilan Kepolisian (periksalah pasal-pasal 1 dan 116 bis R.O., 1 dan 49 Reglemen Hukum Acara Seberang, 2 Voorlopig Rechtsreglement, 2 Voorlopige
Regeling Rechtswezen, 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1950 dan Undang-undang No. 8 Tahun 1950 tersebut, juncto pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara) pada
waktu ini praktis segenapnya dirangkap oleh Hakim-hakim pada pengadilan Negeri setempat. Maka untuk mencapai suatu rasionalisasi susunan dan tata-usaha pengadilan-pengadilan di Indonesia,
Pemerintah harus menghapuskan pula dengan Undang-undang Darurat ini, segala pengadilan Kepolisian. Segala pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) dalam daerah-daerah Negara Sumatera Timur
dahulu, karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, dan segala pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) - kecuali peradilan Agama jika peradilan
itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan-peradilan Swapraja dan Adat itu - harus dihapuskan karena alasan yang sama mengenai pengadilan-pengadilan itu telah
disebutkan di atas, dan berdasarkan yang berikut.
Dalam daerah Republik Indonesia dahulu, "semua Pengadilan-Raja di Jawa dan Sumatera" telah dihapuskan berdasar atas ketentuan-ketentuan Undang-undang 1947 No. 23.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1950 juncto Undang-undang No. 8 tahun 1950 penghapusan tersebut dilakukan juga tentang pengadilan-pengadilan-Raja (Swapraja) dalam daerah-daerah pulihan Republik Indonesia dahulu itu.
Mengingat pasal 132 juncto 133 Undang-undang Dasar Sementara dan hak Pemerintah Republik Indonesia (Kesatuan) untuk menghapuskan pengadilan-pengadilan itu jika kepentingan umum memaksa, hak mana berdasarkan pasal 9 ayat 3 kontrak politik yang dibuat dengan beberapa daerah-daerah Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dahulu karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu (periksalah Staatsblad 1939 No. 146, 612 dan 613), dan berdasarkan pula pasal 9 ayat 3 "Peraturan Swapraja 1938" (Staatsblad 1938 No. 529) yang sekedar mengenai daerah-daerah Swapraja dalam Negara-negara dahulu tersebut dan karesidenan dahulu tersebut yang hubungannya dengan Pemerintah Republik Indonesia (Kesatuan) dipemerintahkan oleh yang disebut "Korte Verklaring", maka penghapusan pengadilan-pengadilan Swapraja itu adalah setuju dengan hukum oleh karena seluruh Rakyat yang bersangkutan berulang-ulang sangat mohon itu.
Pengadilan-pengadilan Adat, yang berdasar atas Staatsblad 1932 No. 80 setelah diubah oleh Stbl. 1938 No. 264 dan 370, dan atas pasal-pasal 1 dan 12 Reglemen Kalimantan-Timur Besar, 1 Reglemen Pengadilan Indonesia Timur, 2 Voorlopig Rechtsreglement, 2 Voorlopige Regeling Rechtswezen, 1 dan 2 Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1950 juncto Undang-undang No. 8 tahun 1950, dan pasal-pasal 101, 102 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara, selain dari tidak mencukupi syarat-syarat yang Undang-undang Dasar Sementara menuntut dari suatu alat perlengkapan pengadilan, juga tidak diingini lagi oleh seluruh Rakyat yang bersangkutan yang berulang-ulang telah mohon penghapusannya.
Akan tetapi hal menghapuskan peradilan Swapraja dan peradilan Adat tak mungkinlah dijalankan pada
saat itu juga peraturan ini diundangkan, oleh sebab tenaga Hakim pada Pengadilan Negeri yang amat besar diperluaskan pekerjaannya karena penghapusan itu belum cukup adanya.
Berhubung dengan hal itu, maka penghapusan tersebut akan dijalankan berangsur-angsur menurut kebutuhan dengan memperbaiki tenaga-tenaga yang dapat disediakan.
Oleh karena dalam tempo yang pendek Kitab Hukum Pidana Sipil akan diulang-mengundangkan, setelah Kitab itu disesuaikan dengan keadaan pemerintahan yang baharu ini, dan kini belum ada tentu apakah
perbuatan-perbuatan pidana-adat dan hukuman-hukuman-adat harus diakui terus, maka untuk sementara waktu perbuatan-perbuatan pidana-adat itu dan hukuman-hukuman-adat itu tidak dihapuskan.
Peradilan Agama dalam lingkungan peradilan-peradilan Swapraja dan Adat belum dihapuskan, oleh karena Pengadilan-pengadilan Agama dalam lingkungan peradilan yang dahulu dinamakan
"Gouvernements-rechtspraak" untuk sementara waktu dilakukan terus seperti diterangkan di bawah ini. Pengadilan-pengadilan Agama berdasarkan pada begitu banyak peraturan-peraturan tersendiri - baik
peraturan-peraturan Kekuasaan Militer Belanda, Undang-undang biasa dan peraturan-peraturan Residen, maupun peraturan-peraturan adat-istiadat -, bahwa tak mungkinlah menyebutkan peraturan-peraturan itu satu demi satu.
Kekuasaan pengadilan Agama itu tidak teratur bersamaan di seluruh Indonesia.
Bagi pulau Jawa, pulau Madura, daerah Banjarmasin - kecuali daerah-daerah Pulu Laut dan Tanah Bumbu - dan daerah Hulu Sungai, kekuasaan pengadilan-pengadilan Agama khusus meliputi perkara-perkara antara orang-orang Islam yang menurut adat-istiadat harus diputus menurut Agama Islam dan bersangkutan dengan nikah-kawin, cerai, rujuk, mahar, hadlanah dan nafakah (periksalah pasal 2a Staatsblad 1882 No. 152, setelah ditambah dan diubah oleh Staatsblad 1937 No. 116, dan pasal 3 Staatsblad 1937 No. 638).
Bagi Negara Sumatera Timur dahulu, kekuasaan pengadilan Agama selainnya meliputi perkara-perkara yang disebutkan tadi juga perkara-perkara antara orang-orang Islam yang menurut adat-istiadat harus
diputus menurut agama Islam dan bersangkutan dengan "menetapkan bahagian pusaka untuk ahli waris masing-masing" (pasal 3 ketetapan Wali Negara Sumatera Timur tertanggal 1 Agustus 1950 No.
390/1950, Warta Resmi N.S.T. 1950 No. 78). Bagi daerah-daerah lain di Indonesia kekuasaan pengadilan Agama berdasarkan pada, atau pasal 12
Peraturan Swapraja 1938 tersebut, atau pasal 12 Staatsblad 1932 No. 80 tersebut, atau salah satu reglemen peraturan pengadilan yang resional, akan tetapi batas-batas kekuasaan itu tidak dinyatakan di
situ karena mengenai adat-istiadat, setidaknya Kepala Swapraja atau Residenlah yang menetapkannya. Biaya perkara untuk pengadilan Agama - pada umumnya - ada lebih tinggi dari pada biaya perkara
untuk pengadilan Negeri. Supaya keputusan-keputusan pengadilan Agama dapat dijalankan, jika yang terhukum tak dengan rela
hati memenuhi keputusan, maka - pada umumnya - dari keputusan pengadilan Agama itu harus diminta "executoir verklaring" kepada Ketua pengadilan Negeri setempat.
Maka untuk mempersatukan urusan perkara perdata yang harus diputus menurut hukum syarat Islam, Pemerintah mengharapkan akan membicarakan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, apakah tidak harus
memilih memasrahkan juga urusan perkara perdata itu kepada pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dapat menanggungkan keahlian istimewa tentang hukum syarat Islam itu, jika
pengadilan Negeri dalam urusan perkara yang dimaksudkan tadi, terdiri dari seorang Hakim yang beragama Islam sebagai Ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai Anggota.
Pasal 4 ayat 2 rancangan "Undang-undang tentang susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan Negeri dan Pengadilan-pengadilan Tinggi" mengandung pendirian tersebut.
Selain dari pada untuk menghapuskan seketika ini juga segala pengadilan Distrik, segala pengadilan
Kabupaten, segala pengadilan Negorij, segala Raad Distrik, segala pengadilan Magistraat (Pengadilan Rendah), segala pengadilan Kepolisian, dan berangsur-angsur, segala pengadilan Swapraja dan segala
pengadilan Adat - kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan-peradilan Swapraja dan Adat itu -, maka Undang-undang Darurat ini bermaksud pula untuk :
a. mempersatukan seketika ini juga pengadilan-pengadilan Sipil dari Gubernemen yang merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk memeriksa dan memutus perkara perdata dan perkara pidana sipil;
b. mempersatukan seketika ini juga alat-alat Penuntutan Umum pada pengadilan-pengadilan tersebut bab a. Jadi mulai dari sekarang ini segala pengadilan itu dinamakan :
"Pengadilan Negeri" dan semua pegawai-pegawai Penuntutan Umum padanya : "Jaksa" atau "Wakil-Jaksa".
c. mempersatukan seketika ini juga acara tentang perkara-perkara pidana sipil dalam lingkungan peradilan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Jadi mulai dari sekarang ini hanya Reglemen Indonesia yang dibaharui (Staatsblad 1941 No. 44) seberapa mungkin dipakai sebagai acara tentang perkara-perkara pidana sipil dalam lingkungan
peradilan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. d. mempersatukan seketika ini juga hak untuk dapat dimohon bandingan oleh Pengadilan Tinggi
dan putusan Pengadilan Negeri tentang perkara pidana, serta mempersatukan acara dalam tingkat bandingan itu. Jadi mulai dari sekarang ini hak untuk dapat mohon bandingan dan putusan Pengadilan Negeri
tentang perkara pidana, diberikan kepada segala terdakwa dan segala Jaksa yang bersangkutan, jika putusan itu mengenai suatu perkara pidana sipil yang diancam hukuman lebih dari tiga bulan
penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, asal putusan itu tidak memuat pembebasan dari tuntutan seluruhnya, dan mulai pada saat yang berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 ayat (2) oleh Menteri
Kehakiman dalam suatu daerah yang akan ditentukan-Nya dihapuskan peradilan Swapraja atau peradilan Adat, maka pun hak untuk dapat mohon bandingan dari putusan Pengadilan Negeri
tentang perkara yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, diberikan kepada segala terdakwa dan segala Jaksa yang bersangkutan, jika putusan itu yang sekedar tidak
memuat pembebasan dari tuntutan seluruhnya mengenai suatu perkara pidana yang menurut ketentuan dalam pasal 5 ayat (3) bab b harus dianggap diancam dengan hukuman (pengganti)
yang lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah. e. menempatkan atau mendirikan Pengadilan-pengadilan Tinggi di Kota-kota yang menurut kenyataan perlu diadakan.
Jadi di samping Pengadilan Tinggi yang telah ada di Jakarta, mulai dari sekarang ini akan terdapat Pengadilan-pengadilan Tinggi di Surabaya, di Medan dan di Makassar.
Oleh karena Appelraad di Medan, Appelraad di Makassar dan Mahkamah Justisi di Makassar mulai dari sekarang ini telah dihapuskan, pengadilan-pengadilan sipil untuk pemeriksaan dalam tingkat bandingan juga telah dipersatukan. f. menetapkan secara lebih rasionil dari pada dahulu, daerah-daerah hukum pengadilan-pengadilan sipil yang dimaksudkan dalam bab e.
Berhubung dengan apa yang telah diterangkan di atas ini, maka penjelasan sepasal demi sepasal dari Undang-undang Darurat ini, dianggap tidak perlu lagi.
|